Ticker

6/recent/ticker-posts

Viral Dulu, Baru Respons Turun

KOTA JANTHO-Di tengah rimbun Aceh Besar yang mulai senyap menjelang sore, angin menggoyang pelan dinding lapuk sebuah rumah kayu di Gampong Bayu, Seulimeum. Rumah itu bukan sekadar papan bertiang tua dan atap seng bocor—ia adalah saksi bisu ketabahan seorang ayah, Saiful, yang hidup bersama lima anaknya di batas kesabaran dan kekuatan.
Kala malam tiba, dingin datang lebih dulu dari tidur. Di dalam rumah yang nyaris roboh itu, tidak ada tempat aman dari bocoran air hujan. Atapnya seolah mempersilakan langit ikut masuk ke ruang keluarga. Lantainya gemetar diguncang angin. Dan Saiful, dengan tubuh renta dan hati yang belum patah, menyelimuti anak-anaknya bukan dengan selimut tebal, tapi dengan terpal plastik yang biasa digunakan petani untuk menutup rumput basah.

“Kadang kami nggak tidur semalaman. Kalau hujan deras, terpal pun tembus. Tapi saya nggak ada pilihan lain,” ujar Saiful pelan kepada seorang relawan yang sempat datang beberapa waktu lalu.

Seandainya rumah itu bisa bicara, mungkin ia sudah menangis lebih dulu sebelum penghuninya. Tapi rumah tak bisa bersuara. Ia hanya diam dan perlahan menyerah, retak demi retak, hingga suatu hari, kisahnya diabadikan lewat jepretan kamera dan diunggah ke media sosial. Dan seperti biasa, barulah ramai orang bicara.

Foto-foto kondisi rumah Saiful tersebar. Ada yang mencemooh pemerintah, ada yang menggugah donasi, ada pula yang marah karena harus menunggu dunia maya dulu untuk bergerak.

Baru setelah itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar datang membawa kabar: rumah Saiful akan diajukan untuk renovasi melalui Baitul Mal. Sekda Aceh Besar, Bahrul Jamil, mengaku pihaknya telah merespons cepat. "Alhamdulillah, rumah Hamba Allah Saiful sudah kami tangani dan kirimkan langsung ke Baitul Mal Aceh Besar untuk ditindaklanjuti," ucapnya, Selasa (23/7/2025).

Cepat? Mungkin. Tapi mengapa harus menunggu viral lebih dulu?

Kisah Saiful bukan kisah baru. Ia adalah satu dari ratusan—mungkin ribuan—orang miskin di pelosok Aceh yang tinggal dalam rumah yang tak layak disebut “hunian”. Perjuangannya tak tercatat di lembaran APBK, dan namanya mungkin tak pernah muncul dalam daftar prioritas bantuan sosial.

Namun ketegaran Saiful tetap menyala. Ia tidak meminta-minta. Ia hanya hidup—dengan sederhana, dengan syukur, dan dengan sedikit penerangan listrik yang baru saja tersambung, berkat program ESDM Aceh yang dibawa oleh anggota DPR Aceh dari Fraksi PKB, Munawar. Itu pun setelah advokasi panjang dari tim relawan di gampongnya.

Tapi listrik bukanlah satu-satunya kebutuhan. Rumah yang bocor dan nyaris runtuh jelas lebih genting.

Warga sekitar sudah lama gelisah. Mereka telah menyampaikan harapan kepada siapa saja yang mau mendengar: agar Saiful dan anak-anaknya mendapatkan rumah yang layak. Namun semua itu seolah lenyap di antara tumpukan berkas dan birokrasi. Sampai akhirnya internet bersuara lebih lantang.

Salah seorang warga Seulimeum berkata getir, “Ini tugas bersama. Pemerintah harus hadir untuk memastikan tidak ada lagi rakyat kecil yang tinggal di rumah nyaris roboh seperti ini. Tapi ya, biasanya kalau nggak viral, tak digubris.”

Ada ironi di antara tepuk tangan dan apresiasi terhadap respons pemerintah. Ketika laporan diajukan dan proses bantuan dikabarkan sedang berjalan, sebagian warganet berkomentar, “Syukur sudah diurus. Tapi kalau tidak diviralkan, apakah tetap akan seperti ini?”

Pertanyaan itu menggantung di udara. Sebab tak ada jawaban yang sungguh pasti. Yang ada hanya fakta yang berulang: pemerintah sering terlambat menyentuh penderitaan rakyat kecil, kecuali ketika sorot kamera media dan viralnya postingan netizen sudah lebih dulu memanggil perhatian.

Seolah-olah derita rakyat kecil tidak sahih sebelum ditayangkan di linimasa.

Saiful sendiri tak banyak bicara soal itu. Ia terlalu sibuk menjaga agar anak-anaknya tetap sehat dan sekolah, meski sepulang dari sekolah mereka harus duduk di rumah yang miring, belajar di lantai yang bisa runtuh sewaktu-waktu. Kadang mereka hanya duduk di luar rumah sambil memandang sawah, menanti hari cerah tanpa hujan.

“Yang penting anak-anak tetap semangat. Saya cuma ingin mereka bisa hidup lebih baik dari saya,” kata Saiful, suaranya nyaris tenggelam oleh deru angin sore.

Kini, setelah Baitul Mal disebut akan memproses bantuan renovasi, masyarakat Gampong Bayu menaruh harapan tinggi. Mereka ingin agar ini bukan hanya janji manis di atas kertas. Mereka ingin derita Saiful betul-betul berakhir.

Tapi lebih dari itu, mereka ingin perubahan dalam cara negara melihat kemiskinan. Bahwa rakyat kecil tidak harus menggugah dunia maya dulu untuk mendapatkan hak dasarnya.

Sebab rumah yang layak huni bukanlah kemewahan. Ia adalah pondasi paling dasar dari martabat manusia. Dan ketika seorang ayah harus tidur di lantai basah sambil memeluk anak-anaknya dengan plastik sebagai pelindung, itu bukan sekadar kisah menyentuh—itu adalah alarm yang seharusnya menggugah seluruh sistem pemerintahan.

Viral dulu, baru respons turun. Sebuah ironi sosial yang makin lazim. Ketika netizen lebih cepat bertindak ketimbang pejabat, ketika empati muncul di kolom komentar sebelum muncul dalam rapat anggaran.

Saiful hanya satu dari sekian. Hari ini rumahnya sedang diajukan renovasi. Tapi entah berapa Saiful lain di luar sana yang belum terjaring kamera, belum diviralkan, dan masih menanti keajaiban dari langit-langit rumah yang bocor.

Apakah kita harus menunggu viral dulu lagi?

Atau cukup satu kali ini saja kita belajar: bahwa suara rakyat kecil tak perlu ditunggu jadi sorotan media, cukup dibaca dengan hati nurani. (F Darwis)

Dilihat