Ticker

6/recent/ticker-posts

Mangrove Aceh Tamiang Hancur, Negara Kemana?

Kuala Simpang – Kerusakan hutan mangrove di Aceh Tamiang kini mencapai tingkat mengkhawatirkan. Sekitar 85 persen dari total 24.013 hektar mangrove dilaporkan telah hancur akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit ilegal. Direktur Eksekutif Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembAHtari), Sayed Zainal M, SH, menyebut kerusakan mangrove ini sebagai bencana ekologis dan mempertanyakan kehadiran negara dalam penegakan hukum lingkungan. Pernyataan ini disampaikan pada Ahad, 3 Agustus 2025, dan dikutip dari laporan mediaaceh.co.id.

Kerusakan parah terjadi di dua titik utama: Alur Cina, Kecamatan Bendahara, dan Kuala Genting, kawasan pesisir yang seharusnya menjadi benteng alami dari abrasi dan tsunami. Di Alur Cina, sekitar 300 hektar hutan lindung mangrove telah dialihfungsikan secara tidak sah sejak akhir 2024. Sementara di Kuala Genting, kerusakan mencapai 600 hektar dan berlangsung sejak awal tahun 2000-an, menunjukkan pola pembiaran yang sistematis dan berkelanjutan.

“Ini bukan hanya pelanggaran hukum, ini adalah kehancuran sistem perlindungan lingkungan yang dibangun alam selama ratusan tahun,” ujar Sayed. Ia menyebutkan bahwa hutan mangrove Aceh Tamiang memiliki setidaknya 22 spesies pohon mangrove, menjadikannya salah satu kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di Indonesia. Mangrove tidak hanya penting untuk ekosistem laut, tetapi juga menyimpan potensi besar dalam penyerapan karbon dan program karbon kredit.

Namun, alih fungsi menjadi kebun sawit ilegal terus terjadi tanpa kendali. Diduga kuat, sebagian kawasan dikuasai oleh pelaku-pelaku berkekuatan ekonomi dan politik yang sulit disentuh hukum. Aparat dinilai tidak hadir secara efektif. Ditjen Gakkum KLHK Wilayah Sumatera pun menjadi sorotan. “Jangan hanya datang untuk foto-foto dan dokumentasi. Kami menunggu tindakan hukum nyata,” tegas Sayed.

Ia menambahkan, jika pemerintah pusat maupun daerah terus membiarkan kerusakan ini berlangsung, LembAHtari bersama sejumlah elemen sipil siap mengajukan gugatan hukum terhadap negara. Langkah ini disebut sebagai bentuk tekanan publik agar kerusakan lingkungan tidak terus didiamkan.

Sementara itu, dampak dari kehancuran hutan mangrove sudah mulai dirasakan oleh masyarakat pesisir. Banyak nelayan mengeluhkan hasil tangkapan yang menurun drastis, sementara ancaman abrasi semakin nyata, terutama saat pasang besar. Jika dibiarkan, kerusakan ini bisa memicu bencana yang lebih besar—baik secara ekologis maupun sosial ekonomi.

Mangrove bukan sekadar pohon yang tumbuh di air payau. Ia adalah benteng terakhir masyarakat pesisir dari perubahan iklim, abrasi, hingga krisis pangan laut. Ketika hutan itu hancur, pertanyaannya bukan hanya siapa pelakunya, tapi juga: negara kemana?

Berita ini pertama kali tayang di mediaaceh.co.id pada Ahad, 3 Agustus 2025, dan dikutip ulang oleh redaksi media ini pada Senin, 4 Agustus 2025, sebagai bagian dari upaya memperluas kesadaran publik dan mendorong tanggung jawab negara atas perlindungan lingkungan hidup. (*)

Dilihat