Ticker

6/recent/ticker-posts

Fenomena Wartawan ChatGPT Ramaikan Dunia Jurnalistik


Banda Aceh – Dunia pers lokal tengah heboh dengan lahirnya kasta baru dalam profesi jurnalis: Wartawan ChatGPT. Mereka adalah para reporter yang dulu menulis berita seperti mengetik pesan singkat—huruf besar dan kecil berantakan, tanda kutip hilang entah ke mana, paragraf mirip catatan harian. Kini, setelah mengenal kecerdasan buatan, perubahan mereka dramatis.

Wartawan yang dulunya hanya mengirim satu berita per bulan kini mendadak menjelma menjadi “pabrik naskah”. Lima hingga delapan berita per hari bukan lagi prestasi luar biasa, melainkan hasil kemahiran baru: menyusun perintah kepada ChatGPT. Bermodal satu foto dan dua kalimat keterangan, naskah lengkap pun lahir seketika—rapi, formal, dan kadang lebih cerdas dari penulisnya sendiri.

Editor pun makin cerdik mengenali “aroma AI” dalam naskah. Bahasa terlalu rapi, kutipan seperti disusun oleh dosen linguistik, dan lead yang terasa “terlalu mengalir untuk reporter yang biasanya menulis seperti kasir menginput struk”. “Saya tahu ini kerjaan AI. Anak itu kalau nulis sendiri, koma saja salah tempat,” ujar seorang redaktur senior dengan nada pasrah.

Fenomena ini melahirkan dua kategori baru di ruang redaksi: wartawan lapangan sungguhan dan wartawan percakapan AI. Wartawan lapangan berkeringat mengejar narasumber, membawa kamera, dan mencatat manual. Sementara wartawan AI hanya perlu mencari jaringan internet, mengirim foto, lalu meminta ChatGPT menulis: buatkan berita yang menarik, mengalir, dan bernas.

Para “wartawan ChatGPT” tidak merasa malu. Sebaliknya, mereka bangga menjadi gelombang baru jurnalisme digital. “Yang penting berita naik. Tentang siapa yang mengetik, itu bukan isu penting lagi,” ujar seorang reporter yang lebih sering berdiskusi dengan AI daripada dengan sumber berita.

Sebagian praktisi media melihat fenomena ini sebagai fase transisi jurnalisme, sementara yang lain menganggapnya sebagai “tanda kiamat kecil” bagi integritas profesi. Namun yang pasti, gelombang wartawan AI tidak akan surut dalam waktu dekat.

Sebelumnya, Wamenkomdigi Nezar Patria mengingatkan bahwa AI membawa dampak besar pada industri media, namun disiplin verifikasi tetap harus dijaga. BRIN menilai AI dapat mengaburkan “rasa manusiawi” dalam karya jurnalistik. Dewan Pers menegaskan AI hanyalah alat bantu, bukan pengganti jurnalis. Sementara eksperimen harian Il Foglio di Italia yang menerbitkan edisi penuh berbasis AI menunjukkan potensi sekaligus kelemahannya—mulai dari efisiensi hingga risiko kesalahan faktual. (MT)

Dilihat